Langsung ke konten utama

Ulasan Buku "Semua untuk Hindia" karya Iksaka Banu

 

Sumber gambar: hantulis.com 

A. Identitas Buku
1. Judul         : Semua untuk Hindia
2. Pengarang : Iksaka Banu
3. Penerbit     : Kepustakaan Populer Gramedia
4. Tahun         : 2014
5. Genre         : Sejarah, Cerita Pendek.
6. Tebal          : XIV + 154 Halaman


B. Ulasan

"Berhentilah menulis hal buruk tentang kami, Nak. Aku dan tentaraku tahu persis apa yang sedang kami lakukan. Semua untuk Hindia. Hanya untuk Hindia. Bagaimana denganmu? Apa panggilan jiwamu?"

Hampir tujuh puluh delapan tahun semenjak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun sejarah telah menyimpan berbagai suka dan duka yang pernah diukir tidak hanya dari kaum pribumi, melainkan dari kaum penjajah, dalam arti orang-orang Belanda yang pernah singgah.

Kemarahan, kesedihan, kehilangan, kemustahilan, atau bahkan kematian telah mengiringi berbagai kisah kehidupan pada masa penjajahan itu, disamping berbagai kesenangan, kenyamanan, kehormatan, dan kebahagian.

Semua itu tersaji oleh Iksaka Banu dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Semua untuk Hindia, salah satu kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2014 yang berisikan tiga belas buah cerpen yang ia garap sejak tahun 2004.

Cerpen-cerpen digarap Iksaka Banu bertemakan kolonial, dimana ia memakai sudut pandang orang pertama, dalam arti berperan sebagai orang Belanda yang pernah singgah di Hindia Belanda yang menceritakan berbagai kejadian unik yang pernah mereka alami.

Latar waktu dan sosiologi yang dipakai oleh pengarang terbatas dari peristiwa pelayaran kapal seorang penjelajah bernama Cornelis de Houtman ke Kepulauan Nusantara hingga pasca pendudukan oleh tentara Jepang pada tahun 1945, walau nampak terbatas hingga kejadian perang puputan di Bali pada tahun 1906.

Ada 1-2 cerpen yang sama-sama menampilkan genre cerita yang sama, mulai dari masalah asmara, kisah horror, tragedi peperangan, dan lain sebagainya dengan perbedaan berbagai unsur intrisik yang cukup mencolok, kurang lebih sebagai berikut:

Pada cerpen Racun untuk Tuan dan Stambul Dua Pedang, penikmat akan dibawa pada konflik yang dihadapi seorang pria Belanda yang sampai melibatkan hubungannya dengan seorang wanita pribumi yang menjadi gundik (istri gelap).

Kemudian di cerpen Semua untuk Hindia dan Selamat Tinggal Hindia, penikmat akan merasakan kehilangan dari seorang pria Belanda terhadap salah satu teman wanitanya yang hilang tanpa kabar karena suatu kejadian yang tidak terduga.

Lanjut pada cerpen Pollux dan Penunjuk Jalan, pengarang seakan meracik sebuah cerpen belaka dengan masing-masing salah satu latar peristiwa yang kemungkinan pernah dialami oleh tokoh yang terkenal dari kaum pribumi, yakni Pangeran Diponegoro dan Untung Surapati.

Dan akhirnya masih banyak cerpen yang yang melukiskan latar sosiologi yang dipakai, dengan latar belakang tokoh yang tidak hanya melibatkan orang Belanda dan kaum Pribumi, juga melibatkan kaum-kaum lainnya, seperti golongan keturunan Tionghoa salah satunya.

Keunggulan yang didapat dari kumpulan cerpen ini, ialah, penikmat seakan terbawa ke dalam dimensi masa penjajahan di Hindia Belanda masa lampau dengan segala keunikan yang pernah dialami dan dilakukan oleh orang Belanda sebagai tokoh sentral cerpen.

Hampir semua tokoh beserta penokohan yang dibuat cukup jelas dipahami dari penciptaan gerak laku, dialog, latar belakang, dan lain sebagainya, serta cukup mencerminkan laku tokoh yang dibayangkan oleh penikmat.

Pengarang dirasa bisa menguraikan apa yang menjadi riset histografinya dari pemilihan kata-kata dalam cerpen yang cukup mendalam dan informatif, serta dengan penjelasan urutan peristiwa yang bisa memancing rasa penasaran dari penikmat.

Namun, kelemahan dari kumpulan cerpen ini ialah, ia bisa dinikmati oleh penikmat cerpen yang mempunyai wawasan maupun yang keingintahuan terhadap latar sosiologi yang ditampilkan, yakni masa-masa Pemerintahan kolonial Belanda, sehingga tidak semua kalangan terlalu bisa menikmatinya.

Juga beberapa cerpen yang disajikan menggunakan alur campur yang berakhir secara mengambang begitu saja, dalam arti hampir tidak ada penyelesaian konflik yang bisa dikemukan, karena yang diceritakan ini hanyalah semacam parodi dari berbagai kejadian yang telah masuk dalam bagian riset dari pengarang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku : Puisi-Puisi Cinta (karya W.S Rendra)

Judul : Puisi-Puisi Cinta Penulis : W.S Rendra Penerbit : Benteng Pustaka Halaman : 100 Halaman Waktu Terbit : September 2015 Buku yang berjudul "Puisi-puisi cinta" ini merupakan salah satu antologi (kumpulan) puisi yang dibuat oleh Alm. W.S Rendra ketika ia duduk di bangku SMA sampai di usia senjanya. Antologi ini dibagi menjadi 3 bab atau dengan istilah "Puber". Bab pertama berjudul Puber 1 berisi 24 puisi-puisi nya ketika ia sedang duduk di bangku sekolah. Menggambarkan ketika ia sedang jatuh cinta terhadap seorang wanita sebaya nya. Bab 2 berjudul Puber 2 memuat 3 puisi yang menyatakan isi hatinya. Bab 3 berjudul Puber 3 menunjukkan kesetiaan nya terhadap puisi di usia senjanya. 3 karya puisi yang dibuat dalam puber ini. Selain kumpulan puisi, terdapat juga biografi singkat penyair termasyhur ini sekaligus pengantar dari editor buku ini. Bagi yang ingin mencari referensi antologi puisi, buku ini sangat direkomendasikan, terutama pembaca yang i

Resensi Buku : Derabat (Kumpulan Cerpen Harian Kompas 1999)

Judul Buku : Derabat Penyunting : Kenedi Nurhan Tahun Terbit : 2017 Penerbit : Penerbit Buku Kompas Tebal Halaman : XXXVIII + 210 halaman Pada aslinya Derabat  bukan merupakan judul dari pada buku ini, merupakan salah satu judul cerpen karya Budi Darma.  Disini kita akan melihat 20 karya cerpen terbaik yang pernah dibuat pada tahun 1997-1999 untuk diterbitkan oleh Harian Kompas. Tidak hanya itu, ada bagian pengantar dari penerbit beserta komentar dari Toety Heraty & Ahmad Sahal. Berikut adalah sinopsis dari cerpen-cerpen yang ada  1. Derabat (karya Budi Darma) Bercerita tentang seorang Penarik Pendati yang mulai diganggu oleh seekor burung yang ia sebut Derabat ditengah teror yang dibuat seorang pemburu yang bernama Matropik dan kawan-kawannya untuk desanya. 2. Nasib Seorang Pendengar Setia ( karya Jujur Prananto) Darsono mencurahkan isi hatinya kepada dokter betapa jenuh nya ia mendengarkan lelucon dari bos kantornya yang cenderung tak lucu serta monoton. 3. AAA!III...

Tugas Ujian Akhir Semester Membaca Sastra : Resensi "Aku Ingin Menjadi Peluru" karya Wiji Thukul

A. Identitas Buku 1. Judul : Aku Ingin Menjadi Peluru 2. Penulis : Wiji Thukul 3. Penerbit : INDONESIATERA 4. Tebal : XXIV + 223 Halaman 5. Waktu Terbit : April 2004 (cetakan kedua) B. Resensi Kita mungkin mengenal seorang Wiji Thukul sebagai salah satu aktivis yang "dihilangkan" oleh kekejaman rezim yang pernah berlangsung dahulunya. Tapi kita mesti tahu bahwa kata-kata yang ia buat membuka mata hati kita terhadap kesenjangan sosial yang terjadi waktu itu. Lewat buku Aku Ingin Menjadi Peluru lah, ia menuangkan apa yang ia alami dan ia lihat melalui puisi-puisi yang unik dan perlu kita pahami.  Ada sekian banyak puisi yang dibagi dalam 5 bab yakni " Lingkungan Si Mulut Besar", "Ketika Rakyat Pergi", "Darman dan Lain-lain", "Puisi Pelo",  dan "Baju Loak Sobek Pundaknya". Di buku ini juga terdapat pengantar langsung dari Alm.Munir yang juga merupakan aktivis HAM, wawancara Wiji Thukul oleh salah satu wartawan, biogr